SHARE

istimewa

Menurut dia, salah satu kekuatan komunitas ilmiah di lingkungan pesantren-pesantren Nahdliyin adalah adanya warisan intelektual dalam kitab-kitab klasik atau Kitab Kuning, yang memuat pikiran-pikiran ulama klasik Islam pada rentang abad ke-8 hingga awal abad ke-20.

"Tentu saja, buah pikiran ulama ini menggambarkan situasi pada zamannya, terutama situasi pra-negara nasional. Warisan-warisan pemikiran ini tergambar, antara lain, dalam literatur "Fikih Siyasah", yaitu fikih yang berkenaan dengan masalah kenegaraan," katanya.

Fikih siyasah juga sangat dipengaruhi oleh konteks politik negara khilafah, dimana ciri yang paling menonjol adalah tentang konsep kewargaan berbasis agama dan tidak adanya batas-batas wilayah secara jelas.

Dalam konteks politik seperti itu, lanjutnya, setiap imperium, yaitu negara yang melintasi batas-batas nasional dan meliputi tanah luas dan etnisitas beragam, berusaha untuk memperluas wilayah setiap saat.

"Inilah yang menjelaskan kenapa setiap negara harus menjaga perbatasan mereka setiap saat. Di batas inilah jihad harus dilakukan setiap saat untuk mencegah invasi, baik dari negara imperium lain maupun dari pasukan non-negara yang terdiri dari kekuatan suku-suku," katanya.

Sementara itu, dia juga mengatakan saat ini bangsa hidup dalam konteks peradaban baru, yaitu peradaban negara-negara bangsa.

"Karena itu, sudah saatnya, percakapan dimulai kembali di kalangan para kiai, intelektual, sarjana, dan aktivis Nahdliyin untuk membaca kembali warisan Fikih Siyasah kita yang amat berharga itu dalam terang konteks baru tersebut," ujarnya.

Halaman :
Tags
SHARE