SHARE

carapandang.com | Nafik Muthohirin

CARAPANDANG.COM - Ajaran Islam akan mengalami ironi bila perwujudan terhadapnya hanya berupa simbol-simbol. Dalam hal kewajiban berpuasa, misalnya, jika kita menunaikannya dengan sebatas menahan lapar dan dahaga, ibadah ini tidak akan berdampak apa-apa. Berpuasa akan lebih memberikan manfaat bila kita melengkapinya dengan aktivitas berderma.

Pada bulan suci ini, seluruh aktivitas sosial dibingkai apik dengan nilai relijius. Mulai dari sinetron, iklan, kuis berhadiah, hingga pusat-pusat perbelanjaan menawarkan diskon lebaran. Apakah salah? Bukan pertanyaan model pembenaran seperti ini yang mesti dihadirkan, melainkan sebuah pertanyaan kritis apakah mengartikan Ramadan yang demikian itu substantif? 

Apalagi, di sepuluh hari terakhir Ramadan ini, di samping memperbanyak ibadah mendekatkan diri kepada Allah Swt, lebih lengkap bila kita senantiasa juga menyibukkan aktifitas yang bernilai sosial. Sehingga, atas dorongan sipiritual dan sosial, umat Islam mampu bersuka rela mendermakan sebagian hartanya untuk kaum mustad’afin. 

New-Mustad’afin

Pada konteks kekinian, masyarakat yang terdampak Covid-19, dapat disebut sebagai new mustad’afin. Meski istilah ini bisa diperdebatkan secara akademis, namun secara sederhana saja dapat dikategorikan kepada orang-orang yang bekerja sebagai buruh pabrik, ojek online, sopir bus, mahasiswa di perantauan, dan lainnya. Buruh pabrik, misalnya, di antara mereka ada yang terancam putus hubungan kerja karena telah satu bulan lebih perusahaan tempatnya bekerja tidak bisa beroperasi. Sikap berderma ini senyatanya diorientasikan demi menyelesaikan agenda mendesak tersebut. 

Dalam hal ini, dimensi kedermawanan dalam Islam mempunyai dua komitmen penting, yaitu komitmen ketuhanan dan kemanusiaan. Jika wujud komitmen ketuhanan didasari atas hubungan manusia dengan Tuhan, maka komitmen kemanusiaan terealisasi dari perasaan solidaritas sesama manusia. Wujud solidaritas sosial dapat dilakukan dengan mendermakan sebagian harta kepada yang lebih membutuhkan. 

Namun, seiring dengan dorongan filantropi yang meningkat, diperlukan manajemen yang baik agar tidak berbalik menjadi bencana. Hal ini penting mengingat masih dijumpai beberapa kasus pembagian bantuan, baik berupa bahan pokok atau uang, yang dilakukan dengan mengabaikan protokol kesehatan: Tidak jaga jarak, berdesak-desakan, tidak pakai masker, dan berkerumun dalam jumlah besar. 

Tujuan dan maksud berderma harus diiringi dengan cara yang elegan dan sehat. Tidak memposisikan mereka sebagai peminta-minta, apalagi harus berdesak-desakan dengan kemungkinan terinfeksi Covid-19. Hemat penulis, upaya berderma bisa ditempatkan pada lembaga filantropi supaya distribusinya lebih elegan dan terarah. 

Lebih jauh, sikap berderma masyarakat Islam mempunyai potensi yang besar untuk turut mengentas persoalan kemiskinan. Spirit filantropi ini tidak hanya memuat kesalehan individual, melainkan sarat dengan kesalehan sosial. Meski tidak secara total dapat membantu menyelesaikan derita masyarakat, tetapi kerja ini sangat berkontribusi bagi pembangunan ekonomi keummatan. 

Sikap filantropi bukan lagi sekedar pertaruhan gengsi (prestige). Mayoritas penduduk Indonesia sudah terpanggil untuk mendermakan hartanya. Kesadaran mereka tumbuh karena tingkat pendidikan yang semakin meningkat. Tingkat kesadaran berderma ini dapat ditelaah dari bermacam laporan riset berbagai lembaga sosial, salah satunya Badan Pengarah Filantropi Indonesia. 

Menurutnya, potensi dana filantropi di Indonesia mencapai Rp200 triliun per tahun, tapi karena belum dikelola secara baik sehingga yang terkumpul selama ini masih Rp6 triliun per tahun.  Potensi yang kuat itu harus direvitalisasi fungsi dan tujuannya. 

Ada baiknya jika donasi yang terkumpulkan itu tidak digunakan untuk berlomba-lomba membangun masjid, merias bangunan lembaga pendidikan, dan memewahkan area pemakaman. Optimalisasi pemberdayaan ekonomi umat sangat penting untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang lebih serius. 

Oleh: Nafik Muthohirin

Dosen Fakultas Agama Islam, Sekretaris Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang