SHARE

Diskusi Ruang Gagasan di RBC Institute A. Malik Fadjar

CARAPANDANG.COM – Aksi teror di Makassar dan Mabes Polri bulan lalu menambah deretan panjang aksi terorisme di Indonesia. Selama dua dekade terakhir, setidaknya terjadi 45 aksi teror di Tanah Air.

Aksi teror agaknya menjadi aksi tahunan, karena setidaknya ada 2 hingga 4 kasus teror yang terjadi tiap tahunnya.

Hal ini menjadi miris ketika tidak ada satu pun agama dan ajaran di Indonesia yang mengajarkan kekerasan bahkan aksi teror. Semua agama dan ajaran yang berkembang mengajarkan perdamaian dan kerukunan. Namun, hal ini justru tak menyurutkan fakta bahwa aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama terus-menerus terjadi.

Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan teror berbasis agama adalah ekstremisme yang mengakar kuat di sekitar masyarakat-masyarakat yang rentan.

“Ajakan kepada ekstremisme sudah menyasar di forum-forum pengajian. Yang disasar adalah masyarakat yang secara agama masih belum utuh. Mereka diajarkan untuk berjihad dengan menggunakan potongan-potongan ayat atau teks keagamaan yang mengandung kebencian,” ujar Luluk Farida saat mengisi diskusi Ruang Gagasan di RBC Institute A. Malik Fadjar, Senin (3/5/2021).

Berdasarkan data yang disadurkan oleh BNPT, kata Farida, yang paling banyak disasar oleh paham ekstremisme adalah perempuan, dengan presentase 12,3%. Jika dahulu perempuan berada di balik layar, sekarang perempuan sudah bisa menjadi aktor di balik terjadinya aksi teror. Zakiah Aini, aktor tunggal di balik penyerangan Mabes Polri yang menggunakan senapan angin, misalnya.

Selain itu, anggota Aliansi Jurnalis Independen, Eko Widianto, mengatakan bahwa media juga turut andil dalam menciptakan aksi teror. Setelah paham ekstremisme sudah mengakar kuat, segala informasi terkait aksi teror yang ada di media, baik cetak maupun elektronik, juga turut membantu teroris untuk melancarkan aksinya.

“Bagaimana cara merakit bom, bagaimana menghindar dari sergapan polisi atau cara-cara melancarkan aksi teror, dengan mudah didapatkan melalui media massa,” tutur Eko.

Dengan segala kemudahan akses-akses menuju aksi teror ini, maka sudah semestinya ajaran dan ajakan mengenai perdamaian harus disemai kembali. Yang menjadi kunci dalam mereduksi paham ekstremisme adalah dengan menggalakkan pendidikan perdamaian. Literasi dan kesadaran tentang keberagaman harus dikampanyekan.

Senada dengan itu, Direktur Program RBC Institute A. Malik Fadjar, Nafik Muthohirin mengungkapkan, pendidikan agama yang inklusif, yang mengajarkan pluralisme harus ditambahkan porsinya dalam kurikulum.

“Ini mengingat kaum muda juga sangat rentan terpapar paham ektremisme.”

Upaya-upaya dalam mencegah paham ekstrem tidak hanya disajikan secara teori, tapi juga diteladankan oleh para penganjur dan pengajar. Dialog antar agama juga sudah semestinya dijalin kembali. Sehingga, melalui dialog ini, terciptanya ruang belajar antar satu dengan yang lain.