SHARE

Media sosial

CARAPANDANG.COM - Komisioner Komisi Informasi Pusat, Arif Adi Kuswardono, mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami hiperealitas dan banyak ditemui di media sosial kebanyakan berasal dari kelompok digital migrant, yakni mereka yang tidak tumbuh di era budaya digital.

Hiperialitas adalah ketidakmampuan kesadaran untuk membedakan realitas dengan citra (image)  atau simulasi realitas, yang sering terjadi pada masyarakat postmodern berteknologi maju. Sekelompok orang yang mengalami hal itu bisa disebut dengan istilah "generasi halu". 

"Dari kajian psikologis, memang generasi halu ini, terutama sekali, menghinggapi, atau dialami yang digital migrant, ketimbang yang digital native, jadi mungkin seperti Gen X, sementara Gen Z, generasi Alfa sudah murni digital, mereka memang lebih terampil untuk berinteraksi di media sosial," ujar Arif dalam webinar "Keterbukaan Informasi Publik: Jurus Anti Halu, Generasi Digital," Jumat.

Lebih detail, Arif menjelaskan bahwa hiperealitas terjadi saat tatanan normal antara image dan reality tidak terhubung. Dalam perkembangannya, image menjadi kabur, realitas disembunyikan, yang kemudian berakhir pada image dan realitas yang sama sekali berbeda. Salah satunya, banyak terjadi di dalam dunia maya di mana seseorang menjadi orang lain atau "roleplay" seorang tokoh atau selebritas. Tindakan ini masuk dalam tujuh jenis kabar bohong.

Untuk itu, Arif mengatakan beragam konten di media sosial harus dicermati dan direspons secara kritis sebelum masuk ke dunia digital.

"Teknologi komunikasi terus berkembang, masa-masa yang akan kita alami itu memang masa-masa yang sangat intens dengan teknologi dan informasi. Jangan sampai nanti kita memasuki masa atau periode itu dengan pemikiran yang salah atau dengan sikap yang salah, sehingga kemudian justru tidak bermanfaat atau tidak produktif di periode atau di masa itu," kata Arif.

Praktisi media sosial, Wicaksono, atau lebih dikenal dengan Ndoro Kakung, melihat bahwa masyarakat harus membekali diri dengan literasi digital, yakni ketangkasan dan keterampilan dalam berinternet. Dengan pengetahuan dasar dalam tangkas berinternet, yakni memahami bahwa berita baik dan buruk bisa menyebar di internet, diharapkan pengguna internet dapat terhindar dari hal-hal yang tidak benar, termasuk penipuan.

"Ini pentingnya untuk mengingatkan pengguna internet, bahwa situasi di dunia online tidak selalu seperti yang mereka lihat, para pengguna perlu mengetahui mana yang asli dan yang palsu, termasuk ketika menerima informasi," ujar Wicaksono.

"Informasi yang bombastis, tidak masuk akal, menjadi ciri atau potensi penipuan," dia melanjutkan.

Wicaksono juga mengingatkan agar pengguna internet selalu menjaga informasi pribadi, misalnya Nomor Induk Kependudukan, nomor rekening, PIN ATM atau password akun medsos, karena "privasi dan keamanan pribadi sangat penting," dia menambahkan.

Tags
SHARE