Kasus ini berawal dari kebijakan Yaqut Cholil Qoumas yang mengubah alokasi tambahan 20 ribu kuota haji periode 2023–2024. Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, rasio kuota haji ditetapkan 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah khusus. Namun Yaqut menetapkan rasio kuota haji tambahan itu masing-masing 50 persen untuk jemaah reguler dan jemaah khusus.
Penyimpangan alokasi ini diduga membuka praktik jual beli kuota haji khusus oleh oknum di Kemenag dan biro perjalanan. Akibatnya, calon jemaah yang seharusnya mengantre bertahun-tahun dapat langsung berangkat hanya dengan membayar sejumlah uang.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan agen-agen perjalanan itu tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi melalui asosiasi. "Mereka diduga berkomunikasi dengan oknum pejabat di Kemenag," ujarnya.